Hadapi 10 Jaksa, Muchdi Pr Siapkan 5 Pengacara

Laporan: Widyabuana. tribuntimurcom@yahoo.com

Jakarta,Tribun - Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr siap menghadapi persidangan atas tuduhan pembunuhan aktifis HAM Munir. Untuk menghadapi tim jaksa penuntut umum (JPU) yang berjumlah 10 orang, Muchdi telah menunjuk lima pengacara untuk membelanya di pengadilan.

"Tim kuasa Pak Muchdi jumlahnya lima orang," tegas koordinator kuasa hukum Muchdi yakni Wirawan Adnan di Jakarta, Sabtu (9/8). Anggotanya adalah Luthfi Hakim, Achmad Kholid, Robert Sirait dan Hery Suryadi.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga menyatakan, untuk menyidangkan perkara Muchdi Pr, ia telah menunjuk 10 jaksa. Tim jaksa diketuai Asisten Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Agus Riswanto dengan anggota antara lain Cirus Sinaga dan Maju Ambarita.



Bagi Wirawan, meskipun jumlah tim kuasa hukum hanya separuh dari jumlah jaksa, bukan berarti mereka akan kalah. "Jaksa 10 orang itu kan tetap satu suaranya. Yang menentukan kalah atau menang, fakta hukum yang terungkap di persidangan. Dan kami sudah siap untuk membuktikan bahwa dakwaan tidak berdasar," lanjut Wirawan.

Yang menjadi kekhawatiran Muchdi, hanyalah pengadilan tidak fair. Wirawan mencontohkan, dalam perkara Pollycarpus Budihari Priyanto,dalam persidangan tidak terungkap adanya peran Pollycarpus dalam membunuh Munir. Kendati demikian Pengadilan dengan mendasarkan pada keyakinannya saja, bisa menjatuhkan hukuman selama 20 tahun penjara. "Pak Muchdi hanya khawatir kalau pengadilan tidak fair," tambah Wirawan.

Dalam perkara kliennya ini, Wirawan sangat yakin Muchdi Pr tidak terlibat dalam pembunuhan berencana Munir seperti yang akan didakwakan jaksa. "Klien kami dituduh pembunuhan berencana, tapi tidak ada bukti awal tentang perencanaan itu," tambahnya.

Selain itu, Wirawan mengatakab bahwa saksi Budi Santoso yang disebut-sebut mengetahui hubungan Polly dengan Muchdi, adalah saksi yang direkayasa. "Saksi yang namanya Budi Santoso, itu saksi fabrikasi atau rekayasa. faktanya tidak ada," tambah Wirawan.

Kekhawatiran Wirawan, Budi Santoso tidak dihadirkan di Pengadilan. Sehingga, jaksa hanya membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Budi Santoso saja. Sehingga, tim kuasa hukum tidak bisa mementahkan kesaksian Budi Santoso secara langsung. (*)
Sumber: http://tribun-timur.com/view.php?id=91646

Baca Selengkapnya»»

Jaksa Maju Ambarita Periksa Berkas Muchdi Pr

JAKARTA, TRIBUN - Berkas perkara kasus pembunuhan aktivis Imparsial dan Kontras Munir dengan tersangka mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen (Purn) Muchdi Purwoprandjono diserahkan penyidik Polri ke Kejaksaan Agung, Senin (11/8).

"Paling lambat Jumat ini sudah dilimpahkan ke pengadilan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga seusai penyerahan berkas berikut tersangkanya di Kejagung, Jakarta, kemarin.

Untuk menyidangkan Muchdi, Ritonga telah membentuk tim jaksa penuntut umum (JPU) yang berjumlah 10 orang. Anggotanya antara lain Sirus Sinaga, Maju Ambarita, dan Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati DKI Jakarta Agus Riswanto.

Mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap Muchdi, Ritonga menyebutkan pasal 340 junc to 55 ayat 1 butir 2 UU KUHP. "Acamannya bertingkat-tingkat, bisa mati, seumur hidup, atau 20 tahun penjara," lanjutnya.

Muchdi Datang
Seusai dengan jadwal, Muchdi Pr disertakan dalam penyerahan berkas dari penyidik Polri yang dipimpin Direktur I (Keamanan Trans Nasional) Mabes Polri Brigjen Pol Mathius Salempang. Dari jajaran Kejagung hadir pula Sekretaris Jampidum Muzzami Merah Hakim.

Muchdi, yang dijemput dari Rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok, tiba di Kejagung pukul 12.45. Kedatangan Muchdi lolos dari pantauan wartawan karena ia masuk dari kantor jaksa pengawasan yang tersambung dengan gedung pidana umum tempat wartawan menunggu.

Saat meninggalkan Kejagung pukul 13.45, kembali Muchdi Pr mengecoh wartawan. Ia menghindar kejaran wartawan karena keluar dari pintu poliklinik yang tidak dijaga wartawan. Dengan mobil Kijang warna merah marun nomor B 1946 OI, mantan Danjen Kopassus itu dibawa kembali ke Rutan Brimob Kelapa Dua.

Jampidum Abdul Hakim Ritonga menyatakan, selain pelimpahan Muchdi Pr sebagai tersangka, tim penyidik Mabes Polri juga menyerahkan barang bukti. Ritonga menjelaskan ada dua jenis barang bukti untuk Muchdi, yakni barang bukti yang digunakan untuk menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto dan barang bukti baru yang diperoleh tim penyidik Polri.

Ada juga lima bukti tambahan. Pertama, buku kas kuarto yang berisi catatan keluar-masuk surat dan catatan keluar-masuk pembayaran. Kedua, hard disk yang diambil dari staf Muchdi Pr di BIN. Ketiga, tiga bundel hard copy call detail record (CDR) percakapan telepon yang diperoleh dari Telkomsel. Keempat, hard disk hasil kloning yang diduga milik staf Muchdi, yakni Juni Torino. Dan kelima, tiga lembar surat yang dikeluarkan Muchdi Pr.

Dari daftar saksi, lebih kurang 13 orang akan dihadirkan di pengadilan guna menjerat Muchdi Pr sebagai orang yang memberikan perintah kepada Pollycarpus untuk mengeksekusi Munir.
Ada mantan Wakil Kepala BIN M As'ad Ali, mantan Dirut PT Garuda Indra Setiawan dan terpidana Pollycarpus. Namun mantan Kepala BIN AM Hendropriyono tidak masuk dalam daftar saksi.
"Saksinya lebih dari 13 orang," tegas Abdul Hakim Ritonga di Kejagung, kemarin. Ritonga mengakui, M As'ad Ali masuk dalam daftar saksi. "Oh iya. As'ad juga termasuk (saksi)," lanjutnya.

Tolak Status
Harapan Muchdi Pr untuk menjadi tahanan kota kandas. Kejagung menolak permohonan Muchdi dengan alasan faktor keamanan. "Saya belum dapat menyimpulkan permohonan itu. Penahanan tetap ada. Tapi menurut penuntut, jangan ditahan kota," tegas Abdul Hakim Ritonga.
Apa pertimbangan tidak dilakukan penahanan kota? "Saya nggak hafal. Untuk keamanan. Tapi formalnya belum dijawab," lanjut Ritonga.

Ketika ditanya apa maksud alasan keamanan, Ritonga menjawab, "Keamanan segala-galanya." Supaya jaksa aman? "Dalam arti luas lah," tambahnya.
Permohonan pengalihan dari tahanan Rutan menjadi tahanan kota disampaikan tim kuasa hukum Muchdi Pr saat pelimpahan barang bukti dan tersangka di Kejagung.

Salah satu kuasa hukum Muchdi, yakni Lutfie Hakim, menjelaskan, saat pelimpahan tersebut Muchdi mengajukan dua permintaan. Pertama, minta segera perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. "Kedua, beliau mengharapkan kebijaksanaan dari pihak penuntut umum, agar ada pengalihan bentuk tahanan dari bentuk tahanan dalam Rutan menjadi jenis tahanan kota," ujar Lutfie.

Apa pertimbangan permintaan pengalihan menjadi tahanan kota? "Pertimbangan dari pihak," tambah Lutfie. Karena ditolak, Muchdi tetap menjadi tahanan Kejaksaan. Seperti waktu menjadi tahanan Polri, Muchdi tetap ditahan di Rutan Brimob, Kelapa Dua, Depok.(Persda Network/yls)

Sumber: http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=17335&kategori=22

Baca Selengkapnya»»

Hubungan Kekerabatan atau Partuturon
dalam Budaya Batak Toba

Disusun oleh ASM. Ambarita (Op. Batara) untuk Milis Ambarita

BUDAYA Batak Toba sangat kaya akan istilah hubungan kekerabatan (partuturon), sehingga bagi mereka yang tidak mengikutinya sejak kecil akan sulit menggunakannya dengan benar.
Oleh karena itu banyak orang Batak yang tidak begitu faham mengenai hubungan kekerabatan (partuturon), terutama mereka yang lahir dan besar di perantauan.

Bagi orang Batak, partuturon adalah sangat penting, karena partuturon adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan kita satu sama lain dan menentukan bagaimana kita menyapa lawan bicara kita. Dalam upacacara adat, partuturon adalah dasar untuk mengetahui posisi kita, yaitu unsur mana kita dalam dalihan na tolu. Pada suatu saat kita bisa Dongan Tubu, di saat lain menjadi Boru dan dilain kesempatan menjadi Hula-hula.

Apabila kita salah dalam menyapa kerabat kita, maka bisa terjadi orang yang disapa tersebut menjadi tersinggung, karena merasa kurang dihargai pada posisinya yang sebenarnya. Juga partuturon ini sangat menentukan dalam pembagian jambar dalam acara adat. Oleh karena itu kita masyarakat Batak wajib memahami hubungan kekerabatan atau yang dalam bahasa Batak disebut Partuturon.

Berikut ini adalah “Partuturon” yang lazim dipakai dalam Budaya Batak Toba, kiranya dapat berguna bagi pembaca milis ini:

Catatan : “Saya” adalah saya yang sedang membaca tulisan ini :
1. Ahu atau au, adalah sebutan bahasa Batak Toba untuk “Saya”.

2. Amang Saya ialah bapak kandung saya, disapa dengan Amang atau Among.

3. Amang juga digunakan untuk menyapa :
• Simatua doli = mertua laki-laki
• Hela = menantau laki-laki
• Haha doli = abang dari suami (saya perempuan)
• Amang naposo = adik kandung laki-laki atau selevel dengan mertua (saya perempuan).
• Amang bao = besan laki-laki (saya perempuan)
• Panggilan kasih sayang kepada suami.
• Panggilan kasih sayang kepada anak laki-laki.
• Panggilan umum untuk semua Bapak-bapak yang kita hormati (sebelum diketahui
hubungan kekerabatan).

4. Inang saya ialah ibu kandung saya, disapa dengan Inang atau Inong.

5. Inang juga digunakan untuk menyapa :
• Simatua boru = mertua perempuan
• Parumaen = menantu perempuan (saya lak-laki).
• Anggi boru = istri dari adik (saya laki-laki)
• Inang naposo (saya perempuan)
• Inang bao, besan perempuan (saya laki-laki).
• Panggilan kasih sayang kepada istri.
• Panggilan kasih sayang kepada anak perempuan
• Panggilan umum kepada semua Ibu-ibu yang dihormati (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).

6. Ompung Suhut saya ialah ayah dan ibu dari bapak saya. Ayah dari bapak saya ialah Ompung
Doli, dan ibu dari ayah saya ialah Ompung Boru, keduanya disapa dengan Ompung (baca: oppung).

7. Ompung juga digunakan untuk menyapa:
• Ompung Doli dan Ompung Boru dari pasangan saya.
• Panggilan umum kepada semua orang tua (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).
• Panggilan kasih sayang kepada cucu.

8. Amang-tua saya ialah abang dari bapak saya, dipanggil Amangtua/bapak tua

9. Amang-tua saya ialah juga:
• Suami dari kakak-perempuan ibu saya.
• Bapak dari ompung doli saya (amang tua mangulahi), ada juga menyebut ompung nini.
• Semua yang dipanggil abang oleh bapak saya (mis: karena hubungan marga atau abang
pariban).

10. Inang Tua saya ialah istri dari amang tua saya, disapa dengan Inangtua/omatua/mamatua.

11. Inang Tua saya adalah juga:
• Kakak perempuan dari ibu saya.
• Ibu dari ompung doli saya (inang tua mangulai).
• Isteri dari orang yang dipanggil abang oleh bapak saya, termasuk abang pariban.

12. Amang-uda saya ialah adik laki-laki dari bapak saya, disapa dengan Amanguda/bapak uda.

13. Amang-uda juga dipakai untuk menyapa :
• Semua laki-laki yang dipanggil adik oleh bapak saya, termasuk adik pariban.

14. Inang-uda saya ialah isteri dari amang-uda saya, disapa dengan inanguda.

15. Inang-uda saya adalah juga :
• Adik perempuan dari ibu saya yang sudah menikah (adik pariban).

16. Inang-baju saya ialah adik perempuan dari ibu saya yang belum menikah

17. Angkang Baoa saya (saya laki-laki) adalah saudara laki-laki saya yang lebih tua dari saya
(saya laki-laki), dipanggil Angkang (baca: akkang).

18. Angkang Baoa adalah juga (saya laki-laki) :
• Semua putra amang tua saya.
• Suami dari kakak perempuan istri saya.
• Suami dari kakak perempuan saya (saya perempuan).

19. Angkang Boru saya (saya laki-laki) ialah istri dari angkang baoa saya, disapa dengan
Angkang.

20. Angkang Boru saya adalah juga:
• Suami dari kakak istri saya.
• Kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Istri dari abang suami saya.

21. Anggi saya ialah (saya laki-laki) adik laki-laki saya, disapa dengan anggi atau anggia.

22. Anggi saya juga:
• Semua anak laki-laki dari Amang Uda saya (saya laki-laki).
• Semua laki-laki yang memanggil angkang kepada saya.
• Adik perempuan dari isteri saya.
• Adik perempuan saya (saya perempuan).
• Adik laki-laki dari suami saya.

23. Haha Doli saya (saya perempuan), disapa dengan Amang, ialah:
• Abang dari suami saya.
• Semua yang dipanggil abang oleh suami saya.

24. Anggi Boru saya (saya laki-laki) , disapa dengan Inang, ialah :
• Isteri dari adik saya.
• Semua isteri dari yang panggil abang kepada saya.

25. Tunggane Boru (= Parsonduk Bolon ) (saya laki-laki) ialah isteri saya, disapa dengan Inang.

26. Tunggane Doli (= Sinonduk) saya (saya perempuan) ialah suami saya, disapa dengan Amang.

27. Anak saya adalah anak laki-laki saya, dipanggil Anaha, atau Amang.

28. Anak saya, juga anak dari isteri saya:
• Anak laki-laki dari abang dan adik laki-laki saya.
• Anak laki-laki dari pariban saya.
• Anak laki-laki dari yang semarga dengan saya.

29. Parumaen saya, juga parumaen dari isteri saya, dipanggil Inang (saya laki-laki) ialah:
• Isteri dari anak saya.
• Parumaen dari abang dan adik saya
• Parumaen dari pariban saya.
• (isteri saya memanggil parumaen saya dengan namanya atau panggoaranna = nama
berdasarkan anaknya yang tertua).

30. Pahompu saya adalah putra dan putri dari anak-anak saya, dipanggil Pahompu.

31. Pahompu saya adalah juga pahompu isteri saya:
• Pahompu dari abang dan adik saya.
• Pahompu dari pariban saya.
• Semua yang memanggil ompung kepada saya.

32. Nini saya adalah cucu dari putra saya.

33. Nono saya adalah cucu dari putri saya.

34. Ondok-ondok saya adalah cucu dari cucu laki-laki saya.

35. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki), ialah kakak dan adik perempuan saya, disapa dengan Ito.

36. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki) adalah juga:
• Semua anak perempuan dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak perempuan dari Namboru saya.
• Semua perempuan yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).
• Iboto dari ompung saya (ito mangulahi).
• Ito juga panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum ada hubungan kekerabatan.

37. Iboto atau Ito saya (saya perempuan) adalah abang dan adik laki-laki saya, disapa dengan Ito.

38. Iboto atau Ito (saya perempuan) saya adalah juga :
• Semua anak laki-laki dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak laki-laki dari Tulang saya.
• Semua laki-laki yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan
kekerabatan).
• I t o juga panggilan umum kepada semua laki-laki yang sebaya, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.
• I t o juga panggilan kepada cucu iboto saya ( i t o mangulahi).

39. L a e saya (saya laki-laki) ialah suami dari i t o saya, disapa dengan L a e .

40. Lae juga dipakai untuk menyapa (hanya antarlaki-laki):
• L a e dari abang dan adik saya.
• Ito dari istri saya (tunggane).
• Semua putra dari Tulang saya.
• Anak laki-laki dan menantu laki-laki dari amang-boru saya.
• Semua laki-laki yang sebaya dengan saya yang beristerikan yang semarga dengan saya.
• Semua laki-laki yang memanggil Lae kepada saya.
• Panggilan umum untuk semua laki-laki, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.

41. Bere saya adalah juga bere istri saya, ialah putra dari iboto saya, dan cucu laki-laki dari amang-boru saya.

42. Bere adalah juga abang dan adik menantu laki-laki (hela) saya.

43. Ibebere saya adalah juga ibebere dari isteri saya, ialah putri dari i t o saya dan cucu perempuan dari amang-boru saya.

44. Bere/Ibebere saya pada umumnya, semua yang ibunya semarga dengan saya (saya laki-laki).

45. Pariban saya ialah :
• Putri Tulang saya (saya laki-laki).
• Putra dari namboru saya (saya perempuan).
• Saudara perempuan dari isteri saya dan suaminya (saya laki-laki).
• Saudara perempuan saya dan suaminya (saya perempuan).
• Semua perempuan yang semarga dengan isteri saya dan suaminya (sayalaki-laki).
• Semua perempuan yang semarga dengan saya dan suaminya (saya perempuan).

46. Pariban so olion saya ialah :
• Cucu perempuan dari Tulang ibu saya (saya laki-laki).
• Cucu laki-laki dari namboru bapak saya (saya perempuan).

47. Amang Bao saya (saya perempuan), disapa dengan Amangbao, atau Amang, atau Bao, ialah :
• Suami dari iboto suami saya.
• Amang Bao dari kakak adik saya.
• Suami dari putri amang-boru saya.

48. Inang Bao saya (saya laki-laki), disapa dengan Inangbao, atau Inang, atau . Bao, ialah :
• Isteri dari iboto isteri (tunggane) saya.
• Inang Bao dari abang dan adik saya.
• Isteri dari putra Tulang saya.

49. Eda saya (saya perempuan), disapa dengan Eda, ialah :
• Isteri dari iboto saya.
• Putri dari Tulang saya.
• Iboto dari suami saya.
• Putri dari namboru saya.
• Panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum diketahui hubungan kekerabatan.

50. Namboru saya ialah iboto dari bapak saya, disapa dengan Namboru.

51. Namboru juga dipakai untuk menyapa:
• Namboru suami saya (saya perempuan).
• Mertua perempuan dari iboto saya (saya laki-laki).
• Mertua perempuan dari kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Ibu dari amang bao saya (saya perempuan).

52. Amang-boru saya ialah suami dari namboru saya, disapa dengan Amangboru.

53. Boru saya adalah putri saya, disapa dengan Boru, I t o atau Inang.

54. Boru saya adalah juga boru dari isteri saya, yaitu :
• Boru dari abang dan adik saya.
• Boru dari yang semarga dengan saya.
• Boru dari pariban saya.

55. Boru Tubu saya ialah putri kandung saya dan i t o kandung saya (saya laki-laki)

56. Boru Diampuan saya:
• Semua boru tubu dari abang dan adik kandung saya.
• Semua boru kandung dari amang-tua dan amang-uda kandung saya.

57. Boru Namatua saya ialah:
• Amang boru/namboru dari bapak saya.dan keturunannya.
• Amang-boru/namboru saya dan keturunannya.

58. Hela saya juga hela dari isteri saya, disapa dengan Amanghela atau Amang, ialah:
• Suami dari putri saya
• Suami dari putri-putri abang dan adik saya.
• Hela dari abang dan adik saya.
• Hela dari pariban saya.

59. Simatua ni Boru saya, ialah orang tua dari hela saya.

60. Boru saya juga boru dari isteri saya, adalah semua orang yang isterinya semarga dengan saya (saya laki-laki).

61. Tulang saya adalah iboto dari ibu saya.

62. Tulang juga dipakai untuk menyapa :
• Iboto dari inang-tua dan inanguda saya.
• Panggilan untuk anak laki-laki dari tunggane (= tulang naposo) saya (saya laki-laki).
• Bapak dari ompung bao saya (tulang mangulahi).
• Tulang juga adalah panggilan umum untuk kelompok hula-hula.

63. Nantulang saya ialah isteri dari tulang saya.

64. Nantulang juga panggilan untuk :
• Isteri dari abang dan adik tulang saya.
• Ibu dari ompung bao saya (nantulang mangulahi).
• Isteri dari putra tunggane saya (nantulang naposo).

65. Tunggane saya (saya laki-laki) ialah iboto dari isteri saya, disapa dengan L a e .

66. Tulang Naposo (Paramaan) saya (saya laki-laki) adalah putra dari tunggane saya, dipanggil Tulang.

67. Amang Naposo (Paramaan) saya (saya perempuan) , dipanggil Amang, ialah :
• Putra dari iboto saya.
• Semua laki-laki yang memanggil namboru kepada saya.

68. Inang Naposo saya ialah istri amang naposo saya (saya perempuan), dipanggil Inang.

69. Maen saya ialah :
• Putri dari tunggane saya (saya laki-laki).
• Putri dari iboto saya (saya perempuan).
• Semua yang memanggil amang-boru atau namboru kepada saya.

70. Simatua saya (saya laki-laki) ialah orang tua dari isteri saya. Simatua-doli disapa dengan Amang, dan Simatua-boru disapa dengan Inang.

71. Simatua saya (saya laki-laki) termasuk :
• Abang dan adik simatua-doli saya.
• Kakak dan adik-perempuan simatua-boru saya.

72. Simatua saya (saya perempuan) ialah orang tua dari suami saya. Simatua-doli disapa dengan Amang dan simatua-boru disapa dengan Inang.

73. Simatua saya (saya perempuan) termasuk abang dan adik dari simatua saya.

74. Hula-hula saya adalah juga hula-hula istri saya, yaitu mertua saya serta abang dan adiknya.

75. Hula-hula pada umumnya sebutan kepada pihak yang semarga dengan mertua dan semuaTulang saya.

76. Bona Tulang saya ialah hula-hula ompung saya atau tulang bapak saya dan keturunannya (saya laki-laki).

77. Tulang Rorobot saya ialah tulang ibu saya beserta keturunannya (saya laki-laki).

78. Bona ni Ari saya ialah tulang dari ompung saya dan keturunannya (saya laki-laki).

79. Ompung Bao saya ialah orang tua dari ibu saya.

80. Hula-hula marhaha-maranggi saya (saya laki-laki) ialah :
• Mertua (hula-hula) dari abang dan adik laki-laki saya.
• Hula-hula amang-tua dan amang-uda saya.

81. Hula-hula Naposo (Hula-hula Parsiat) saya (saya laki-laki) ialah :
• Mertua (hula-hula) dari putra saya.
• Mertua (hula-hula) putra abang dan adik kandung saya.

82. Hula-hula Sijungkot saya ialah mertua (hula-hula) dari pahompu saya (saya laki-laki).

Partuturon ini disusun berdasarkan pengalaman mengikuti partuturon sehari-hari dan informasi dari berbagai sumber, disadari bahwa pasti ada kekurangan atau tidak sesuai dengan pendapat pembaca, untuk mana diharapkan kritik dan perbaikan.

Jolo tinittip sanggar asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga asa binoto partuturon.

Medan, Agustus 2008

Baca Selengkapnya»»

Pencipta Lagu "Bunga Na Bontar" Tutup Usia

Sabtu, 19 Juli 2008 | 14:11 WIB

RATUSAN karangan bunga dukacita berjejer di Jalan Siaga Raya, Pejaten, Pasar Minggu, Jumat (18/7). Deretan bunga itu menambah suasana duka di kediaman Godman Ambarita, pencipta lagu Bunga Na Bontar, satu nyanyian cinta yang melegenda dari daerah Batak Toba, Sumatera Utara.

"Lagu-lagu daerah Tapanuli sudah banyak yang diciptakan almarhum, di antaranya berjudul Bunga Nabontar, Uju Mangolu, dan Anggar Pareman," kata Sarido Ambarita, adik bungsu Godman Ambarita, kepada Persda Network di rumah duka, Jumat (18/7) malam.

Godman meninggal dalam usia 63 tahun akibat serangan jantung, Rabu (16/7) pukul 03.00, dan akan dikebumikan di TPU Pondok Ranggon Sabtu ini. "Bapak sudah tiga kali mengalami serangan jantung. Ini serangan keempat kali yang menyebabkan bapak meninggal," kata Reinhard Ambarita, anak bungsu almarhum.

Sarido, yang baru tiba beberapa menit dari tempat kelahiran almarhum di Parapat, Danau Toba, Sumatera Utara, mengungkapkan, lagu Bunga Nabontar (bunga warna putih) diciptakan Godman ketika masih muda.

"Memang sejak masih sekolah di bangku SMA di Siantar, Abang Godman sudah mengarang lagu. Bunga Nabontar misalnya, sudah lama populer sebelum dipopulerkan kembali oleh Trio Maduma awal tahun 1990-an," kata Sarido.

Kemudian setamat SMA, Godman merantau ke Jakarta. Di Ibu Kota, ayah empat anak ini kemudian berkarier di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan jabatan struktural sebagai Kepala PDAM Jakarta Utara. Saat tutup usia, Godman masih menjabat Direktur Eksekutif DPP Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi).

Jiwa seni mengalir di dalam darah Godman dan keluarga. Pentolan grup musik Trio Amsisi, Iran Ambarita, adalah adik kandung almarhum. Mereka berdua bahkan aktif membentuk band Exalom (Eks Anak Lombok) tahun 2006 dengan lagu andalan Tiri-tiro.

Godman dalam situs exalom.com menuliskan pengalaman-penalamannya sejak kecil, termasuk kisah mencipta lagu-lagu Tapanuli.

Pertengahan tahun 1964, tutur Godman, dia diajak teman satu sekolah bernama Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh 10 km. Tidak ada kendaraan yang menyentuh daerah pertanian yang sangat subur itu.

"Pada malam hari saya diajak martandang tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang saya berkenalan dengan seorang pemuda desa," tutur ayah empat anak ini. Dalam kegelapan malam, mereka sempat bernyanyi beberapa lagu sambil melirik gadis-gadis desa yang ada di rumah itu. Seusai bernyanyi, pemuda itu bercerita tentang nasib malang yang menimpanya, yakni pacarnya memutuskan hubungan mereka, ia menikah dengan pemuda lain.

"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Nabontar," tulis Godman.

Ia menambahkan, "Sengaja saya memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu. Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Nabontar."

"Bunga Nabontar sering dinyanyikan oleh John Liat Samosir (JLS) bersama Godman jika ada acara martandang atau di lapo tuak di luar grup Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita, kami pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965.

Kami bertiga menyanyikan beberapa lagu, antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, dan O Ale Rospita. Selama berada di kota Sibolga, kami sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong saya menciptakan lagu Tapian Nauli. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

Baca Selengkapnya»»

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (1)
Belajar Petik Senar walau Tanpa Gitar

HUJALO doi suratmi ito na ro tu ahu
Tarsonggot do ahu manjahai
Didokkon ho lupahononmu sude
Janjimi da na tu ahu di borngini

Manetek ilu sian simalolonghi ito
Marningot sude janjimi
Hape di na laho muli nimmu ho
Didokkon ho ma tua sirang ito

Reff.

Parrrohahon ma i bungahi bahen ma i dilambung mi
Bunga nabontar na hulehon tu ho
Ai anggo ahu ndang naro tu pesta mi


ITULAH syari-syair Bunga Nabontar lagu daerah Tapanuli, Sumatera Utara, ciptaan Godman Ambarita. Lagu ini dipopulerkan kembali duet Bunthora Situmorang dan Jhonny Manurung, awal tahun 1990-an.

Godman, seniman dan pencipta lagu-lagu Tapanuli meninggal pada usia ke-63, dan telah dimakamkan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Sabtu (19/7). Sejak masa SMA hingga masa tuanya, puluhan lagu telah dihasilkan, dan tiga tahun terakhir aktif menangani kelompok band Exalom selaku Produser Eksekutif.

"Saya sangat bangga punya bapak seperti dia," ujar Reinhard Ambarita putra almarhum di rumah duka Jalan Siaga Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (18/7) malam.

Karya-karya Godman banyak dihasilkan tahun 1970-an, ketika masih SMA. Kemudian merantau ke Jakarta, dan akhirnya meniti karier hingga kepala Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Utara. Hingga tutup usia, Godman tetap mengurusi masalah air selaku Direktur Eksekutif DPP Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi).

Dalam kesibukan itu, waktu untuk mencipta lagu tidak dapat dilakukan sepenuh hati. Kerinduan pada kesenian daerah diwujudkan kembali setelah pensiun musik melalui band Exalom, tahun 2006.

Lagu-lagu yang diciptakan melalui pendalaman makna terhadap keseharian, diangkat kembali. Bagaimana Godman Ambarita memandang filosofi dari keseharian tergambar pada lagu-lagu ciptaannya

Mencipta dan berkarya, bukan hanya sambilan, tapi adalah passion, melalui lagu
dia ingin mempersembahkan karya terbaik bagi masyarakat, dan
pencinta lagu Batak Toba.

Godman diilhami oleh perjalanan hidup dan kegetiran masa remaja, dan bagaimana lingkungan pergaulannya menjadi sumber inspirasi menjadi lagu.

Perjalanan kesenian itu dituangkan Godman dalam tulisan yang diberi titel Di Balik Cinta Musik, Belejar Gitar dan Lapo Tuak.

"Waktu saya duduk di bangku SMP pada tahun 1959, sebagai anak yang beranjak remaja ingin sekali dapat memainkan senar gitar.Tapi apa daya saya tak punya gitar. Minta dibelikan gitar sama orang tua mustahil. Makan saja susah. Pemberontakan PRRI tahun 1958-1960 membuat kehidupan penduduk di sekitar tepian Danau Toba makin susah. Namun hati saya tetap bergemuruh ingin pandai memetik gitar sambil bernyanyi," tulis Godman dalam situs kelompok Band Exalom yang didirikannya tahun 2006.

Kendati tanpa gitar, semangat Godman Ambarita tak putus belaja gitar. Caranya, laki-laki kelahiran Parapat, 4 Juni 1945 itu tak jemu-jemu menyimak seniornya memetik senar gitar. Di kala sendiri dia mencoba mempraktekkan walau tanpa gitar.

Pemilik gitar pun waktu itu masih sangat terbatas. Tidak lebih dari jari sebelah tangan. Didorong rasa ingin tahu terpaksa pinjam sana pinjam sini. Kendati pemain gitar kurang disukai masyarakat, ayah empat anak itu tidak peduli. Kata hati lebih kuat daripada kata orang.

"Kunci nada C pertama sekali saya kuasai terasa indah sekali alunannya lalu mendorong saya untuk mempelajari kunci nada yang lain. Setiap mendengar petikan senar gitar hati saya selalu menggelora. Tujuan utama saya sederhana, dapat main gitar sambil bernyanyi, itu saja. Caranya, saya tidak segan-segan meminjam gitar teman atau pergi ke lapo tuak mempelajari cara orang main gitar," katanya.

Bahkan kalau ada pemuda-pemuda yang sedang bermain gitar, dengan sabar memperhatikan cara mereka memetik gitar. Di samping ingin pandai memetik gitar, ia juga suka mendengar musik, baik tradisional maupun pop Batak dan Barat. Pendek kata mendengar musik merupakan kegemarannya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

Baca Selengkapnya»»

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (2)
Curi-curi Waktu ke Lapo Tuak

KEGEMARAN Godman Ambarita mendengar musik tersalur karena kebetulan stasiun Radio Republik Indonesia (RR)I Medan sering menyiarkan acara Tapanuli Populer setiap hari Minggu. Dua penyanyi ternama dan belakangan menjadi legenda penyanyi Tapanuli, Nahum Situmorang, dan Ismail Hutajulu tampil secara bergantian.

"Sesibuk apapun, kalau Nahum Situmorang bersama group Solu Bolon mengisi acara di radio, kegiatan akan saya hentikan," kata Godman mengenang masa mudanya.

Tahun 1960-an setiap hari Minggu jam 14.00-15.00, RRI Medan menyiarkan vocal group Solu Bolon mengumandangkan lagu-lagu Tapanuli seperti Denggan ni Lagumi, Maragam-ragam, Pulo Samosir, Toba Holbung, Modom ma Damang Ucok, Dengke Jair dan sebagainya

Godman mengaku, sejak kecil telah menggemari berat Opera Batak Tilhang. Boleh disebut lagu-lagu yang didendangkan vocal group Solu Bolon maupun Opera Tilhang sungguh sangat meresap dan menggetarkan hatinya dan mendorong ingin cepat main gitar. Keinginan itu muncul dan menggebu-gebu setiap usai mendengar alunan suara dari Solu Bolon.

Tapi bagaimana caranya, sementara saat itu Godman tidak memiliki gitar atau alat musik lainnya? Caranya adalah ia sering-sering pergi ke lapo tuak, atau warung penjual aren/nira khas Batak yang lazim dikunjungi orang sambil bernyanyi dengan iringan gitar. Kala lapo sepi pengunjung, dan gitar menganggur, dimanfaatkan Godman untuk belajar memetik senar gitar.

"Jujur saya akui bahwa sekitar tahun 1960-an di Parapat, tidak banyak remaja yang seusia saya mau belajar gitar karena dianggap pargaul atau preman. Namun demikian saya tetap cinta musik, belajar gitar dan menyanyi. Rasanya indah kalau sudah dapat menyanyi sambil memetik gitar," ujarnya.

Kemudian untuk menambah perbendaharaan musik, setiap Minggu pagi jam 07.00-08.00, ia rajin mendengarkan lagu-lagu Pop Barat melalui program "Music City" dari Radio Singapura dan berlanjut dari jam 08.00-09.00 dari Radio Malaysia., yang terdengar dengan terang di Siantar.

Bahkan sampai dengan tahun 1964, mantan Kepala PDAM Jakarta Utara itu mengaku tidak pernah absen mengikuti perkembangan lagu-lagu Pop Barat. Beberapa lagu yang sangat terkesan dan saya sukai saat itu seperti: A Little Bit a Soap, Spanish Harlem(Chiff Richard), Sukyaky, Sealed With a Kiss, Sad Movies, I Need U (Ricky Nelson), Eighteen Yellow Roses, Roses are Red My Love, Twist (Chubby Checker), Send Me The Pillow.

Lagu-lagu Koes Bersaudara yang lagi top saat itu seperti Oh Kasihku, Senja, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, dan Dewi Rindu menjadi favorit Godman. Termasuk juga menyukai lagu Patah Hati dari Rahmat Kartolo.

Pada waktu itu belum ada tape recorder sehingga semua lagu direkam dalam piringan hitam dan diputar melalui gramophone. Gramophone termasuk barang mewah, sehingga hanya mereka yang tergolong orang kaya yang memilikinya.

Tentu saja bagi remaja yang pernah bersekolah di Pematang Siantar, sekitar tahun 1963, pasti pernah merasakan asyiknya mendengar hingar-bingar lagu-lagu Pop Barat dan Indonesia yang diputar melalui gramophone di kedai penjual Es Johor yang berada di Jalan Cipto. Masa itu Jalan Cipto merupakan tempat rendezvous para remaja.

"Singkatnya, begitu bisa main gitar saya rajin mempraktekkan sambil bernyanyi. Manakala saya menyanyikan lagu-lagu pop Barat atau Indonesia di lapo tuak atau martandang di pelosok desa sudah pasti menjadi pusat perhatian orang karena remaja-remaja masa itu paling-paling menyanyikan lagu opera Batak. Suatu kebanggaan tersendiri yang tidak dapat dinilai dengan uang." (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

Baca Selengkapnya»»

Mengenang Pencipta Bunga Nabontar, Godman Ambarita (3)
Kisah Nyata Diadopsi Menjadi Roh Lagu

PELAN tapi pasti, Godman Ambarita akhirnya mahir memainkan gitar. Kini keinginannya meningkat dari sekadar memainkan gitar dan melantunkan lagu karya orang lain menuju keinginan mengarang lagu.

Bermula tahun 1963. Saat itu, seakan ada gejolak yang menggemuruh di hatinya untuk mencipta sebuah lagu. "Saya berpikir harus tampil beda dengan warna musik Batak. Lalu saya mencoba mengadopsi musik Rock and Roll yang sedang trendi saat itu. Tema lagunya saya sesuaikan pula dengan kondisi remaja, yakni dengan adanya kecenderungan sok jadi preman dengan pola konsumerisme gonta-ganti pakaian, walaupun pinjam-meminjam," kenang Godman.

Itulah inspirasi mengangkat tingkah polah kaum remaja anak-anak orang berada yang asyik hilir-mudik mengendarai sepeda motor Honda atau Vespa yang merupakan barang mewah. Lalu memakai pakaian jenis trelinin, teteron berbahan dari polyester yang tidak perlu disetrika dan mengenakan celana wol yang hanya dimiliki oleh anak-anak orang kaya. Perilaku remaja tersebut dirangkum dan tuangkan dalam lagu "Anggar Pareman" (Sok Jadi Preman), lagu jenaka dan merupakan ciptaan pertamanya.

"Dalam mencipta lagu, saya berusaha menggali dari kehidupan nyata, tapi dengan nuansa baru dan tempo musik yang khas. Contohnya, kisah Ibu tiri yang kejam dengan judul "Uju Mangolu" (Ketika masih Hidup) . Lagu ini diangkat dari kisah sedih seorang anak yang selalu menangis tiap malam bersenandung karena kerinduan pada ibunda tercinta yang sudah meninggal. Sedangkan sang ayah menikah lagi sehingga anak-anaknya tercerai-berai, homebroken.

Kisah nyata dari seorang sahabat, Tahir Manik, yang tinggal bersama Godman waktu sekolah di Pematang Siantar. "Selama berbulan-bulan Tahir selalu menangis tersedu-sedu terutama malam hari membuat hati saya serasa disayat-sayat. Pelan-pelan saya petik gitar mengikuti lengkingan kepiluan yang menimpa dirinya. Walau sedih, tidak dalam bentuk "andung" (rintihan). Pada waktu saya menyanyikan Uju Mangolu, Tahir menangis tersedu-sedu."

Kisah nyata masih mengilhami karya selanjutnya. Medio tahun 1964, ia diajak teman satu sekolah, Balson Sinaga ke kampungnya di Saribu Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumut. Letaknya di pedalaman dan harus jalan kaki sejauh kurang lebih 10 km. Belum ada kendaraan bermotor ke daerah pertanian yang sangat subur itu.

Pada malam hari Godman diajak martandang (apel perempaun) tentu saja dengan petikan gitar sembari bernyanyi menyusuri tegalan sawah di tengah kegelapan. Tiba di sebuah rumah tempat martandang, Ia berkenalan dengan seorang pemuda desa.

Mereka cepat akrab oleh kesamaan hobi, bernyanyi. Mereka menggoda bunga desa dengan unjuk kebolehan melantunkan beberapa lagu diiringi jemari yang menari liar memetik senar gitar. Bernyanyi sembari melirik gadis-gadis desa. Usai bernyanyi bersama, sang pemuda desaitu bercerita tentang kisah asmara yang kandast karena pacarnya pergi menikah dengan pemuda lain.

"Ceritanya sederhana tapi raut wajahnya sangat sedih. Hati saya terharu mendengar ceritanya dan terlintas di benak saya atas senandung kesedihan yang menimpanya. Saya berjanji dalam hati akan menuangkan dalam sebuah lagu sebagai kenangan untuknya. Dalam tempo satu minggu saya menciptakan lagu Bunga Na Bontar (Bunga Warna Putih)," tutur Godman.

Ia mengaku sengaja memperkenalkan kembang berwarna putih tanda ikhlas melepas sang kekasih dan sikap si pemuda yang tidak mau datang ke pesta pacarnya, menjadi salah satu bait pemanis lagu itu.

"Sangat saya sadari bahwa masa itu perkawinan Batak belum mengenal pemberian kembang kepada pengantin, apalagi di pedesaan. Tapi agar menarik perhatian pendengar, saya coba merekayasa dalam untaian kata-kata, seperti yang tertuang dalam lagu Bunga Na Bontar".

Bunga Na Bontar, sering dinyanyikan berduet dengan John Liat Samosir (JLS) saat martandang atau di lapo tuak di luar group Rospita Berteman. Kemudian bersama John Liat Samosir dan Jules Ambarita (saudara kandungnya), mereka pertama sekali tampil bernyanyi di RRI Sibolga (live) tahun 1965. Mereka bertiga menyanyikan beberapa lagu antara lain Uju Mangolu, Bunga na Bontar, O Ale Rospita.

Dan selama berada di kota Sibolga, mereka sempat berkeliling dari mulai Sibolga Julu, Simare-mare, bernyanyi di gereja Sambas dan melancong ke Sarudik yang terkenal dengan tempat rekreasi. Sewaktu berada di kota Sibolga, keindahan teluk Sibolga dan keramahan penduduknya mendorong Godman menciptakan lagu Tapian Nauli.

Sepulangnya dari Sibolga, Godman dan dua temannya menumpang sebuah truk pengangkat batu untuk menghemat ongkos. Kemudian truk yang ditumpangi berhenti di rumah makan di Adian Hoting, lokasi persinggahan yang terkenal dengan sajian rumah makan yang enak masakannya. Usai melahap makan, sebagaimana biasa kami melantunkan sebuah lagu. Lalu pemilik rumah makan bertanya, "Apakah kalian yang bernyanyi di RRI Sibolga beberapa hari yang lalu?"

"Serentak kami menjawab "Ya". Serta-merta beliau meminta lagu "Ina Panoroni" atau "Uju Mangolu", yang kami nyanyikan di RRI Sibolga. Menurut pengakuannya nasibnya persis sama seperti lagu itu. Saat kami bernyanyi matanya berkaca-kaca. Tatkala mau membayar makanan, beliau mengatakan, "Tidak perlu bayar, hati saya sangat puas mendengar lagu itu. Saya teringat kejamnya ibu tiri", katanya sambil mengusap air mata yang meleleh di pipinya. (Persda Network/Domu Damians Ambarita)

Baca Selengkapnya»»